Aku menikah di usia yang tidak bisa disebut muda lagi, 29
tahun. Salah satu alasanku menikah di usia sekian karena aku merasa lebih
mantap dengan kondisi mental dan juga finansialku. I think I can handle the
marriage life.
Ternyata oh ternyata, kondisi kehidupan pernikahan tidak
semudah dan seenak itu ya? I mean, look at how people glorify the jargon of
menikah itu enak. Really? 😕
I know, I can’t compare this to other marriage couples,
apalagi yang usia pernikahannya udah lebih dari 5 tahun. Well, I prepare myself
if you blame me, but jujurly, selama sebulan hidup bareng Hyung dalam nauangan
pernikahan, aku belajar hal baru.
Aku sangat menikmati kebersamaan kami, membangun team work
yang solid. Tapi, perjuangan untuk mempertahan kondisi yang stabil dan kondusif
tidaklah semudah itu.
Di carousel milik beliau, ada bagian adaptasi, yang yes, I
feel that! Sebelum menikah, aku adalah perempuan yang berusaha untuk mandiri
dan berpegang teguh pada values yang aku percayai. Aku adalah pemegang kuasa penuh
atas diriku sendiri. Semua keputusan ada dalam kendaliku. Dan kalau terjadi
sesuatu, ya aku sendiri yang menanggung resikonya.
Eh tetiba, jadi istri, tetiba punya tanggung jawab baru,
tetiba kudu pivot values-ku, kaget woy! And to be honest, I’m afraid that I
will lose myself, my true me. Damn, I think I’m being serious now.
Adaptasi Relasi
“Hidup seatap, tidur sekamar, tiap hari ketemu, kurang enak
apa Pit?”, kali aja ada yang nanya gitu.
Let me explain what I feel to you! Hidup seatap tidak menjamin sparks yang ada dalam hubungan kami muncul terus menerus. Aku pernah merasa jauh dari Hyung, padahal kami berada di dalam rumah yang sama. What’s wrong?
Ketika lengah dikit sama yang namanya ekspektesyen, BOOM!
Siap-siaplah diriku menghadapi konflik batin aka overthinking. “Kok Hyung gitu?
Kan mauku dia begini.” Berujung diem-dieman, eh abis itu mewek sendiri. Gini
amat menikah! Like, people don’t really tell you, what will you get from your
marriage.
Adaptasi Keuangan
Pas single, duit hasil kerja ya buat aku sendiri, aku handle
sebaik mungkin, pokoknya kebutuhan living, playing, and saving, aman. Pas
nikah, kok berasanya duit abis buat living tok. Yang bayar KPR, kebutuhan
sehari-hari, beli vitamin, masker, bayar listrik, dll.
Kemana uang-uangku itu? Kemana habit invest-ku dulu? Demi
apapun, pas ngerekap keuangan bulanan dan bikin budgeting tuh ruwet, pokoke
ruwet! 😖
Hal-hal yang aku jelaskan di atas bukanlah sesuatu yang
mudah untuk aku jalani, tapi di waktu yang sama, aku sangat bersyukur memiliki
partner seperti Hyung. Kami seprinsip, sepemikiran, mau berdiskusi, dan
mendengarkan pendapatku.
Ketika aku menulis post ini, aku bertanya dulu pada Hyung.
“Can I write a post about our marriage? I want to share my
thought about that. You know, how our people say about marriage, nikah itu
enak. Padahal nggak gitu.”
“Sure, this is from your point of view, right? The ugly truth
of marriage.”
Bahkan dia menyarankan padaku untuk tetap menulis dan update
blog. Dia merasa hobi-hobiku bisa membantuku untuk tetap jadi diriku sendiri.
Dan afirmasi-afirmasi sederhana dari Hyung yang memberikan
super power buatku.
“Can you feel me?”
“We are in the same boat, you’re not alone.”
Well, marriage is not as simple as menikah itu enak. Menikah
itu tanggung jawab berdua bareng partner. Dari yang awalnya aku punya 1 masalah di
diri sendiri, eh nambah punya masalah baru dengan menghadirkan pihak kedua
dalam hidupku, siapa lagi kalau bukan Hyung? But, it doesn’t mean marriage is
hard, it’s just not easy at all.
Dan yang terakhir, aku berharap banyak orang yang sudah menikah tidak serta merta menjobloskan orang-orang single dalam institusi pernikahan dengan alasan nikah itu enak. Menikah itu tidak mudah dan bukan untuk semua orang. So, nekat aja nggak cukup sist!