Netizen Swadikap: Perempuan itu Memaafkan Perselingkuhan dan Tetap Bertahan Walau Diselingkuhi
September 14, 2021Ada sebuah pengakuan dari netizen di negara swadikap, dia
berselingkuh saat dinas luar, dan bingung antara harus mengaku ke istrinya atau
diam saja dan bertobat. Yang lucu dari pengakuan ini adalah.. bagaimana netizen negara
swadikap memberikan komentar. Banyak banget yang bilang..
“Udah.. minta maaf aja, perempuan itu pemaaf, tapi jangan
berharap kejadian tersebut dilupakan.”
Kelucuan ini jujur bikin akika geram, seperti ada stigma
yang melekat bahwa perempuan itu tipe pemaaf walaupun dia disakiti kayak apapun,
like.. excuse me? Bukannya perasaan dikhianati bisa dirasakan semua gender
tanpa terkecuali?
Apakah akan berbeda ketika laki-laki disakiti hatinya? I don’t
think so, semua manusia normal pasti akan geram ketika tahu dia dikhianati, bahkan
untuk melupakan sepertinya tidak mungkin kecuali kena cahaya senter MIB 😎
Stigma tadi bikin aku mikir, kenapa orang-orang bisa dengan
mudahnya berkata seakan-akan perempuan tidak punya daya ketika pasangannya
berselingkuh dan memilih untuk memaafkan pasangannya dan bertahan? Ada beberapa hal yang ingin
aku tulis;
Pertama, peran gender di negara swadikap sangat kental. Dari
dulu di negara swadikap selalu ada narasi yang mencari nafkah itu laki-laki dan
perempuan itu urusannya anak, dapur, dan kasur. Jadi kalau ada kejadian perselingkuhan,
biasanya perempuan yang ada dalam posisi peran gender seperti itu akan bimbang
karena ia tidak mandiri secara finansial, pun tidak merasa berdaya karena tak
memiliki kekuatan melawan, sehingga ia memilih bertahan.
Kedua, stigma bahwa perceraian dan menjanda itu aib. Keadaan
yang nggak bisa dipungkiri, sering banget terjadi di masyarakat negara swadikap
kalau seorang perempuan berstatus janda, ia akan mendapat banyak asumsi negatif.
Entah jadi penggoda, entah dianggap ahli urusan kamar, dsb.
Ketiga, di negara swadikap perempuan disuruh nerimo, jangan
banyak beropini, jangan banyak melawan, wes pokoke manut ae. Ketika ketemu
perempuan yang vokal kayak yang nulis postingan ini, bakal ada narasi, nanti
nggak laku karena nggak bisa diatur.
Keempat, stigma “Semua Salah Perempuan”. Ketika suami
berselingkuh yang bersalah adalah si istri. Entah antara si istri nggak bisa
dandan, masak nggak enak, atau nggak memuaskan saat di ranjang. Padahal si
pelaku utama adalah laki-laki dewasa yang punya akal sehat, tapi mintanya jadi korban terus membenarkan tindakan
perselingkuhannya. Akhirnya si istri merasa, “Betul, semua ini salahku.”
Kelima, adanya kondisi psikologis yang mempengaruhi si
perempuan. Aku pernah membaca kalau pola asuh dan bagaimana cara kita
dibesarkan oleh orang tua berpengaruh saat kita dewasa. Apabila si perempuan
dibesarkan dari keluarga yang tidak harmonis khususnya dengan kasus perselingkuhan,
bisa jadi ia berpikir bahwa, pasangan yang berselingkuh darinya adalah normal,
karena di keluarganya juga begitu. Selain itu bisa jadi ada kecenderungan
merasa tertantang untuk menyadarkan manusia yang berbuat salah.
Kelima poin tadi bisa masuk dalam pertimbangan si perempuan
untuk bertahan, sampai akhirnya netizen di negara swadikap beranggapan bahwa, ya
emang perempuan begitu, maha pemaaf kok. Jadi selingkuh itu tak apa, tapi
jangan diulangi. 😑
Untungnya di
Indonesia nggak gitu kan yah?
Photo by Sora Shimazaki from Pexels