Pangku

November 10, 2025



Tadi malam aku dan suami pergi ke bioskop untuk menonton sebuah film berjudul Pangku. Dari informasi yang kudapat di internet, film Pangku adalah film debut bagi Reza Rahadian selaku sutradara. Selama ini aku cuma melihat Reza Rahadian sebagai pelakon, sekarang beliau berada dibalik layar.

Kami berangkat pukul 16:31 dari rumah, cuaca saat itu berawan. Aku sempat berpikir, sepertinya tidak akan hujan hari ini. "Babe, nanti mampir ke bioskop buat beli tiket dulu ya". Sampai di bioskop kami memesan tiket film Pangku yang akan tayang pukul 18:40. Aku coba menawarkan ke suamiku, "Do you wanna wait here or we're going to Epilogi or Eijji?". Suamiku memilih untuk mencoba mampir ke Eijji dulu, kalau di Eijji ramai, kami langsung melipir ke Epilogi.

Sampai di Eijji kami segera memesan minuman dan makanan yang tersedia. Eijji merupakan coffee shop terbaru di kota tempat tinggal kami. Alhamdulillahnya di kafe tersebut tersedia mushola, jadi lebih tenang buat melaksanakan salat Magrib.

Waktu sudah menunjukkan pukul 18:21, kami segera bergegas pergi ke bioskop yang jaraknya kurang lebih 3 km dari kafe tempat kami singgah untuk menunggu. Memasuki teater 3, kami menaiki tangga menuju kursi C7-C8. Suasana saat itu gelap, aku sempat tersandung dan hampir jatuh, untung saja teknik jutsu-ku berfungsi dengan baik, aku selamat dan tidak menarik perhatian pengunjung lain yang sedang fokus menatap layar bioskop.

Film Pangku diawali dengan perjalanan Tika yang menumpang truk angkutan dan membawanya sampai ke Jalur Pantura. Tika digambarkan sebagai perempuan muda yang tengah hamil tua dan berharap bisa mendapatkan pekerjaan di tempat barunya itu.

Selama menonton film Pangku, aku mencoba menerjemahkan maksud Reza Rahadian selaku sutradara. Di mata awam sepertiku, aku merasa Reza sedang berusaha memberi tahu publik bahwa ini loh, ada sebuah kehidupan di area Jalur Pantura, sebuah budaya bernama Kopi Pangku. Yang mana dalam fenomena budaya ini, perempuanlah yang menjadi korban.

Dari kisah Tika di film Pangku, aku melihat sosok perempuan yang harus berada di dalam kemiskinan struktural, tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh fasilitas yang layak seperti pendidikan dan kesehatan, sangat minim keterampilan, dan harus berjuang membesarkan anaknya tanpa suami bahkan keluarganya.

Sudah bisa ditebak, dengan kondisi Tika yang sedemikian, ia harus bertahan hidup dengan berjualan Kopi Pangku. Ada satu adegan yang membuat hatiku sesak, adegan itu saat pertama kalinya Tika memutuskan untuk ikut berjualan Kopi Pangku, air matanya jatuh seperti pertanda ia tidak rela, tapi kerasnya hidup dan keterbatasan yang ia miliki membuat Tika harus memilih, inilah satu-satunya cara untuk bertahan hidup.

Selain bergelut dengan kondisi ekonomi, Tika harus menghadapi diskriminasi karena status anaknya yang lahir tanpa seorang bapak. Hal ini terlihat dari adegan saat Tika mendaftarkan anaknya sekolah, anaknya ditolak lantaran kondisi mereka yang tidak memiliki kelengkapan dokumen seperti akta kelahiran dan kartu keluarga.

Selama film diputar, aku berasumsi akan seperti apa alur ceritanya, apakah seperti sinetron yang beribu-ribu episode itu? Apakah akting pemainnya akan berlebihan? Ternyata aku salah. Sepanjang film berlangsung, cerita yang disuguhkan mengalir dengan wajar dan bisa terbayangkan beginilah konflik yang terjadi dalam kehidupan kelas bawah. Di kala negara tidak berpihak, mereka harus tetap hidup bagaimanapun caranya. 

Selain kondisi Tika, ada satu peran lain yang sebelumnya sempat membuatku sebal dan berasumsi buruk kepadanya. Sampai akhirnya di penghujung cerita film Pangku, peran yang tidak ada dialognya ini malah menunjukkan sikap mengasihi dan menyayangi Tika seperti anaknya sendiri. Kalau ingat adegan gerobak mie ayam, rasanya tenggorokanku tertahan sesuatu dan kaca-kaca di mataku ikut timbul.

Kesimpulannya, aku sangat menikmati film Pangku. Mulai dari cerita, akting, dan yang paling gong bagaimana make up artist di film ini bisa menggambarkan suasana di Jalur Pantura melalui para pemarin. Jujur aja, ngeliat make up para pemainnya, aku sebagai penonton jadi ikutan gerah. Selain itu bagaimana Reza Rahadian mengangkat isu atas kerentanan dan perlindungan untuk perempuan dan anak. Akses dasar seperti kesehatan dan pendidikan yang tidak merata dan abai oleh negara. Aku pribadi memberikan 4/5 untuk film Pangku.

Baca Artikel Populer Lainnya

2 komentar

  1. Kalo mbak Pipit kasih nilai 4/5 berarti filmnya bagus ya. Tak sangka Reza Rahadian hanya pintar jadi aktor, ternyata bagus juga jadi sutradara.

    ReplyDelete
  2. Film yang menarik, karena juga menggambarkan kondisi masyarakat kelas bawah yang selama ini seperti luput dari pandangan negara.

    ReplyDelete

If you have no critics you'll likely have no succes ~Malcolm X