TRAVAILLER

December 06, 2020

 



Beberapa tahun terakhir ini lagi gencar-gencarnya kampanye bekerja di start up. Sebagai orang yang punya background profesi yang berbeda, I can’t relate.

Pernah berandai-andai, kalau misalnya nggak kerja di tempatku yang sekarang, aku mampu nggak ya ikutan bersaing dengan sejuta pelamar? Udah rahasia umum kalau lapangan pekerjaan dan SDM di negara kita ketimpangannya gedhe.

Untung masih berandai-andai, karena aku suka begidik kalau liat dana daruratku. Belum mencukupi kalau-kalau nekat resign dari kerjaan yang sekarang. Ya nggak lucu dong, sok keluar kantor karena pikiran sesaat pingin punya kerjaan bergengsi, tapi dompet kosong melompong. Aku tetap realistis pada kehidupan.

Si Tyo, sobatku itu, dia kerja di start up. Dan tiap kali kita update kabar untuk 30 days writing challenge, aku pun jadi tahu, gimana ritme dia kerja. Sabtu – Minggu nggak ada libur dan bisa meeting sampai malam. Tapi yang kece, dia kerja dengan orang-orang keren, dapat banyak insights, dan pastinya pengalaman juga dong.

Walaupun ada rasa iri sama orang-orang yang berkesempatan kerja di sana, cuman diriku pun tahu diri aja. Apakah siap dengan work life harmony nya para pekerja start up? Aku masih belum siap. Masih butuh ketenangan batin dan lebih betah buat kerja di kota kecil ini.

Tapi bukan berarti kerja di kota kecil, tidak ada kesempatan buat upgrade diri. I mean, kalau aku tidak mencoba untuk naik level, ya kali bisa se-vibe ama Tyo. Paling di DM instagram kita cuman say hi, terus kirim emoji reaction aja.

Karena ada internet, jadi ada kesempatan buat ikutan kelas online, dengerin podcast, atau ngeblog. Hal ini ngebantu aku untuk tetap up to date sama isu-isu yang bisa diulas kalau ketemu sama Tyo. Jadi nggak ada ketimpangan kalau kita ngobrol, walaupun background profesi kita berbeda.

***

Btw, kenapa tiba-tiba ngomongin soal start up? Soalnya itu tema 30 days writing challenge hari ini. Kemarin aku sempat sambat sama Tyo, “Aku clueless nih sama tema besok, anda tuh bikin tema nggak main-main ya, pake ada start up segala temanya.”

Terus dia bilang, “Aku pun clueless. Apa yang aku pikirkan kemarin pas masukin tema ini. Tampaknya gara-gara nonton Drakor Startup”. Iye deh Bang, suka-suka abang aja dah! 😑

Jadi mon maap ya kalau tulisannya rada-rada gimana gitu pas kalian baca. Soalnya yang bikin juga nggak tahu mau nulis apa. Eh saking nggak tahunya dapet 300-an kata, mayan uga. Sekian info dari saya.

Gambar dari Photo by cottonbro from Pexels

Baca Artikel Populer Lainnya

4 komentar

  1. Kita tidak akan bisa memahami apa yang orang lain lakukan karena kita tidak pernah mengetahui dan memahaminya. Kita mengukur dari nilai-nilai yang kita ketahui saja.

    Kita memandang bahwa mendirikan sebuah start-up adalah sangat menakutkan karena memang kita tidak terbiasa, tetapi begitu juga sebaliknya. Mendirikan atau bekerja di sebuah start up bisa sangat mengerikan bagi yang terbiasa dengan "kepastian", tetapi bisa sangat menyenangkan bagi mereka yang suka petualangan.

    12 tahun lalu saya bergabung dengan sebuah perusahaan yang baru 1 tahun berdiri. Belum mapan. Butuh banyak perjuangan dan kerja keras. Tetapi, setelah melalui selama itu, rasanya tidak berbeda jauh dengan perusahaan yang sudah berjalan.

    Sekarang, saya sedang mencoba mendirikan start-up sendiri karena saya merasa sudah saatnya berpindah kuadran dari orang upahan menjadi seorang wirausaha sendiri.

    Lumayan menakutkan dan penuh tantangan, tetapi saya rasa hal itu sama juga seperti pertama kali saya bekerja. Karena pada dasarnya perubahan itu pada awalnya akan menakutkan sebelum kemudian lama kelamaan kita akan terbiasa juga.

    ReplyDelete
  2. Bekerja di Start Up menurut saya nggak untuk semua orang, begitu pula bekerja di BUMN, di Auditor, doing business, dan bekerja di company mba Pipit. Setiap dari kita punya porsinya sendiri, jadi belum tentu kita fit di bidang yang lain 😁

    Saya paham kenapa kampanye kerja di Start Up sangat digaungkan, karena sesuatu yang didapat merupakan sesuatu yang baru dan fresh, plus di sana, kita bisa diajak visioner, bahkan bisa bertemu banyak orang hebat seperti teman mba Pipit 😆

    However, seperti yang mba bilang, untuk upgrade bisa dilakukan di mana saja, apalagi sekarang era digital, informasi bisa didapat dengan mudah. Jadi nggak perlu tunggu kerja di Start Up dulu jika ingin meningkatkan kualitas diri kita 🙈💕

    ReplyDelete
  3. Iyah yah zaman skrang start up udh lebih digaungkan...

    Saya sndiri bekerja di perusahaan yg baru berdiri.. kebetulan perusahaan ini baru aja operasi tahun 2017 kemarin.. saya gabung sama mereka pas masih dalam tahap pembangunan yaitu awal 2016...
    Jadi, udh ngerasain tahap commisioning, trial ini itu, pengiriman produk pertama... hahaha.😆
    Capek beud karena jam kerja belum sesuai... tapi skrang udh mulai terjadwal kerjanya.. dan alhamdulillah masih cocok sih.. masih bisa dilakuin smbil ngelesin..

    ReplyDelete
  4. Start up ya, menurutku itu bukan untuk semua orang dan semua orang ga perlu untuk bikin start up, setiap orang punya perannya masing-masing.

    Kalo ga salah beberapa waktu yg lalu sempet rame pembicaraan tentang orang yg menyeru untuk jadi entrepreneur karena enak bisa jadi bos untuk diri sendiri, bisa ngatur waktu kerja sendiri.
    Tapi si pihak pekerja kantoran jg ga tinggal diam, katanya kalo pekerja kantoran juga punya peran penting dan ga semua harus menjadi seorang pengusaha. ga semua orang jg ingin mengatur jam kerjanya sendiri, ga selamanya juga jadi bawahan itu ga enak, kerja kantoran itu enaknya di rasa aman secara finansial, uang bulanan pasti ada, jam kerja yang pasti sehingga bisa atur waktu kosongnya untuk hal produktif lainnya.
    Dan kembali, terlepas dari semua perdebatan antara pengusaha vs pekerja kantoran, semuanya punya peran pentingnya sendiri-sendiri. Yang terpenting adalah setiap individu senang menjalankan perannya.

    ReplyDelete

If you have no critics you'll likely have no succes ~Malcolm X