Pertama kali aku kenal blog di tahun 2010, saat itu pelajaran
TIK dan kami diberi tugas untuk membuat blog. Setelah pelajaran selesai, eh keterusan. Cuman yang jadi bahan tulisannya itu copasan, copasan dari blog terselubung yang isinya fakta unik menarik. Ada yang masih ingat dengan blog
terselubung(dot)in?
Sempat berhenti sejenak, lalu menulis lagi. Di masa itu ada dua
blogger idola yang membuatku semangat menulis, Samandayu dan Irvina Lioni.
Samandayu dengan tulisan yang vulgar dan berani, lalu Mpok Vina (sapaannya
Irvina Lioni) yang suka membuat tulisan kocak ala anak Betawi.
Yang bisa aku ingat dari masa itu adalah aku suka menulis
cerpen, aku menulis tentang konspirasi, dan opini-opini yang bias. Sayangnya
tulisan-tulisan ini tidak bisa aku akses lagi, karena blognya sudah kuhapus. Untungnya,
arsip 2011 masih ada.
I’m just reading that (again) and I feel ashamed because
of the alaynese. And you know what? I think I’m hypnotized by the post. Soalnya
pas nulis postingan ini, vibes tahun 2011 kek merasuk gitu, aing maung!
Memasuki tahun 2012-2015, aku masih menulis, ikut komunitas
juga di Kancut Keblenger yang digawangi oleh Mpok Vina. Baru di tahun 2016 aku
mulai join komunitas baru bernama Blogger Energy. Di tahun ini, aku
ngebet juga tuh sama monetasi blog. Lumayan lah dapat duit buat jajan.
Kalau dari karakteristik tulisan, nggak beda jauh dengan
2011. Tiap kali nulis opini, bawaannya
subjektif, bias, dan marah-marah. Kalau dibaca lagi tuh kayak gimana gitu, merinding
disko sama diri sendiri. Belum lagi tingkat kealayan yang semakin meningkat. Aku
niat banget nge personal branding in diri dengan sapaan incess. Kocak!
Memasuki tahun 2017, tiba-tiba banting stir jadi travel
blogger, biar kayak Takdos yang punya whateverbackpacker(dot)com. Nggak
cuman di blog, instagramku ala-ala travel influencer juga. Eh jebule,
cuman bertahan setahunan aja.
Sampai di tahun 2019-2020, tahun yang ajaib, tahun yang membuatku
banyak belajar. Perjalanan menulis melalui blog menjadi salah satu cerita yang
paling mengesankan. Jejak digital yang sudah aku tinggalkan sejak tahun
2011 menjadi saksi bahwa I change and I get more perspectives.
Walaupun masih suka merinding disko waktu baca postingan
lama, tapi mereka semua adalah aku. Aku yang berusaha mencari tahu siapa aku,
apa inginku, dan bagaimana aku menyampaikannya dalam bentuk tulisan.
Beberapa waktu lalu, saat blogwalking, ada satu postingan blog
yang membuatku marah, “Kok dia nulisnya gini sih? Kamu tuh coba research
dulu, baca-baca biar pas nulis nggak membenarkan opinimu sendiri!”
Tapi beberapa saat kemudian, saat aku membaca ulang
tulisannya, ada satu perasaan. Perasaan yang familiar, “Kayak kenal sama
tulisan ini, tapi di mana?”. Setelah itu aku baru sadar kalau tulisan itu mirip
dengan gayaku menulis di tahun 2011-2015.
Marahku hilang dan berubah menjadi harapan, “Semoga orang
yang menulis ini mau membuka dirinya agar tidak bias dan menjadi lebih objektif
dalam memandang suatu hal.” Tolong diaminkan yaa..
Ngomong-ngomong, mau nutup postingannya kok bingung sendiri milih kalimatnya. Pokoknya, kalau ketemu tulisan yang bias, membenarkan opini sendiri, aku selalu keinget diriku yang pernah ada di stage itu.
Aku
perlu waktu dan proses hingga akhirnya tahu kalau menjadi fanatik dengan opini
sendiri itu nggak baik. Perlu keterbukaan diri untuk mengakui ketidaktahuanku.
Jadi lebih baik aku diam, diam-diam learn, unlearn, and relearn. Sampai benar-benar yakin bahwa insights atau values
ini pantas untuk dibagikan.