It Doesn't Matter Where I Go
November 24, 2020Di 25 Things That I’ve Learn on My 25, aku pernah menulis travelling is therapy. Flashback 5 tahun yang lalu. Iya emang bener, travelling itu terapi buatku. Mumet dikit aja bawaannya pingin pergi ke suatu tempat untuk escape sejenak. Tapi semua itu berubah saat negara api menyerang. Template jadul masih dipake aja Pit!
Tahun 2019 itu turning point yang bikin travelling value
bergeser di diriku. Inget banget, awal tahun 2019 aku ambil cuti buat
staycation di Omah Kayu, salah satu penginapan unik yang ada di Batu. Biasanya
nih biasanya, pulang dari travelling tuh kayak recharge diri dan lebih seger,
eh balik-balik kok masih kerasa murung.
Awalnya sanksi, masih denial gitu dengan perasaan yang aku
rasain. Sampai di bulan Maret aku jalan lagi ke Semarang, dan pulang-pulang hal
yang sama tetap terjadi. I got nothing. Malah pulang-pulang bawaannya pingin
marah-marah.
Long story short, aku bertemu orang-orang keren yang
kuanggap mentor online ku, dan dari sanalah, aku mulai paham kenapa aku merasa
travelling bukan terapi lagi.
Aku tidak melakukan self-upgrade secara berkala, dan akhirnya aku merasa stuck. Sampai akhirnya
berkenalan dengan podcast, memupuk habit buat dengerin sesuatu yang insightful
dari topik-topik yang aku sukai seperti finance, marketing, relationship, and psychology.
Selain mendengarkan podcast, aku bertemu dengan teman yang keren.
Nah temenku ini juga yang bikin aku melek sama financial literacy. Banyak
ngobrol dan bertukar pikiran, dan aku ngerasa lebih hidup.
Disusul jadian sama si partner, hohoho.. Ini kudu
dicantumin, soalnya he’s not the only partner in romantic way, dia juga teman ngobrol yang asyik dan selalu bisa kasih perspektif yang beda tiap kali kita
diskusi. Terus yang terakhir mulai memupuk habit buat baca buku. Dari habits
ini aku merasa lebih ayem tentrem kayak terapi gitu.
Akhirnya aku memutuskan untuk merevisi travelling is therapy
dengan it doesn’t matter where I go but it’s about who I’m with.
Sebagai penutupan ada satu cerita lagi, cerita travelling
ku. Pada akhir 2019 aku menutup tahun dengan pergi ke Singapura bareng adekku. I
called this, sibling trip. Ini bukan trip asyik yang bisa kalian bayangkan. Pas
mau berangkat tiba-tiba aku sama Mama sepakat, keknya aku dan adekku batalin
aja trip ini. Nggak tahu kenapa ada firasat aneh. Tapi adekku nggak setuju.
Ternyata eh ternyata, kejadian dong firasat-firasat yang
aneh itu, hampir ketinggalan pesawat, tumbler ketinggalan, tidur di Changi
nggak sesuai ekspektasi, dsb. Kita sepakat
untuk mengubah judul sibling trip menjadi Singapore missions.
Dan yang aku dapat selama trip di Singapura membuktikan bahwa
when you’re with the right person, even in the worst situation, you will feel
empowered. Walaupun banyak hal nggak menyenangkan waktu di Singapura kemarin,
tapi karena kesana bareng adekku, rasanya tetap asoy!
12 komentar
yeppp..bener banget..kalo Singapore sih sebentar perjalanannya Pit.. 😂😂 Ke Eropa atau ke Amerika juga masih sebentar..
ReplyDeleteTapi journey terpanjang kayaknya akan segera Pipit hadapi deh.. Namanya perjalanan "rumah tangga" 😂😂😂
Nanti kerasa bangeeett...😉😉
Ini komen tergemay dari Mas Anton!!! 🤣
DeleteBerasa kek digombalin gitu, tapi masookkk!!!
Ecieeehhh bapak Antonnnn wkwkwkwk
DeleteWOW.. tulisannya super sekali pit..
ReplyDeleteBenar banget pit, berada di sekitar orang yang kita sayangi, dan peduli dengan kita itu mau dunia jungkir balik kita merasa kaya punya kekuatan lebih buat ngadepinnya..
Masing-masing orang punya jenis therapy masing-masingnya sih.. Kadang gue yah kalau semisal lagi down karena sebuah masalah paling pergi kepantai sore2, duduk di saungnya, sambil rebahan terus ngegambar, ngobrol.. dan yang selalu di ajak yah mereka para Bromance gue dari zaman SMP.. haha
Semngat buat 30 Challenge menulisnya...
Makasih Bay!
DeleteYaampun, aku berasa kek Mario Tegar kalau disuperin gini 🤣
Yup betul sekaleee!!
Semua orang punya caranya buat recharge dan healing, so do what you wanna do.
Setuju dengan Kak Pipit! Dengan siapa kita menempuh perjalanan itu yang terpenting. That's why kalau jalan sama teman dan pasangan yang emang sevibes (ceileh sevibes banget bahasanya?) tuh bisa kerasa hepi banget dan rasanya waktu berjalan cepat sekali. Berbeda kalau kita menempuh perjalanan dengan orang yang kita tidak sukai, 1 jam aja rasanya udah kayak berhari-hari kali 😂
ReplyDeleteTulisan yang singkat tapi sarat makna, like it!
ReplyDeleteapa ya?jadi bingung mau komen apa...soalnya bener semua tulisannya. yang blm bener itu si aku yg masih g bisa sebagus ini nulisnya *ah elah malah curhat lageeh
Hey Pipit! thank you
Saya belom pernah punya pengalaman ke mana dengan orang lain, selain dengan paksu dan anak-anak hahaha.
ReplyDeleteDan memang jadi berasa maknanya kalau jayan-jayan ama keluarga, tapi pengen juga jalan-jalan dengan teman :)
Kalo buat aku dari dulu travelling nggak pernah jadi therapy. Travelling is a process. Aku bisa menikmati travelling sendirian, rame-rame, dengan kelompok kecil, atau dengan seseorang. Nah semua proses travelling itu punya cerita sendiri-sendiri.
ReplyDeleteKadang dari hasil travelling, lama ngalamun di jalan, ketemu orang baru, bikin re-charge mind. Kalo sekarang pun, kalau ketemu sahabat dan mendadak ngomongin hal yang bermakna juga jadi charger untuk mind and soul.
nice banget mba, dibandingin traveling yang butuh dana dan tenaga rupanya dikasih jalan lain buat bisa refresh seperti dengerin podcast dan baca buku
ReplyDeleteAstagaa setuju banget sama pernyataan ini: "travelling is therapy dengan it doesn’t matter where I go but it’s about who I’m with." ❤️❤️❤️❤️❤️
ReplyDeleteDipikir-pikir aneh juga ya kok abis jalan-jalan malah ngerasa drained. Soalnya aku pernah di posisi itu. Sementara ke tempat yang sama dengan orang berbeda malah membawa efek yang berbeda. So glad kamu bisa menemukan fakta ini, Pitt. Berarti kamu udah kenal diri kamu sendiri lebih jauh lagi hihi 😉
Memang yang penting pergi sama siapanya mba Pipit, hahahaha, kalau perginya sama orang yang beda chemistry dengan kita, mau travelnya ke Eropa atau ke negara indah sekalipun rasanya bakal jadi kayak 'neraka' 😂
ReplyDeleteHowever, jika perginya dengan yang kita sayang, dan cocok stylenya, mau cuma ngaso di Changi pun rasanya tetap menyenangkan. Mungkin itu pula alasan punya travelmate penting adanya. Travelmate yang punya mood style sama 😂
If you have no critics you'll likely have no succes ~Malcolm X